Tuesday, August 11, 2009

Fwd : Konspirasi Para Pelacur

Konspirasi Para Pelacur

Jumat, 17 Juli 2009 11:00

assalaamu’alaikum wr. wb.


Pekerja seks komersial, disingkat PSK; itulah nama yang digunakan di media-media massa untuk menyebut mereka. Entah siapa sebenarnya yang pertama kali menggunakan istilah ini, namun yang jelas, nampaknya semua media sudah bersepakat (atau berkonspirasi?) untuk menggunakannya secara konsisten.

Pekerja; sebuah istilah yang sangat bagus. Islam sangat menyukai kerja, apalagi kerja dalam rangka mencari nafkah. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengatakan bahwa tiada makanan yang lebih baik daripada yang merupakan hasil usaha tangan sendiri. Sebuah hadits lainnya mengatakan bahwa orang yang merasa kelelahan karena mencari nafkah akan disenangi Allah, bahkan dosa-dosanya di malam itu (yaitu malam ketika ia merasa kelelahan setelah bekerja seharian) akan diampuni. Ada juga hadits yang mengatakan bahwa diantara dosa-dosa yang tak bisa dihapus dengan pahala shalat, sedekah dan haji, ada yang bisa ditebus dengan kepayahan mencari nafkah.

Seks; sebuah istilah yang juga mengundang banyak perhatian dalam agama Islam. Berlainan dengan beberapa agama lainnya, Islam tidak memandang seks sebagai sesuatu yang buruk. Islam menetapkan pahala bagi hubungan seks antara suami-istri. Rasulullah saw. bersabda, jika menyalurkan hasrat seksual di jalan yang haram maka pasti berdosa. Sebaliknya, jika menyalurkannya di jalan yang benar tentu berpahala.

Komersial; sebuah istilah yang selalu berkaitan dengan perniagaan. Tidak ada salahnya berdagang dan mencari keuntungan, bahkan hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah saw. Kemandirian finansial adalah hal yang sangat penting bagi seorang Muslim. Islam juga sangat memperhatikan pentingnya kejujuran dan keridhaan dalam setiap transaksi jual-beli.

Jadi mengapa ketiga istilah yang sejatinya membicarakan hal-hal yang sangat ‘Islami’ ini kemudian diperkosa sedemikian rupa sehingga kombinasinya menghasilkan sebuah frase yang menggantikan kata “pelacur”? Tak berhenti sampai di situ, muncul pula istilah baru lain, demi membela harkat dan martabat para pelacur, yaitu: kupu-kupu malam. Kupu-kupu; hewan cantik yang hidupnya hinggap dari bunga ke bunga, yang melakukan puasa (saya tidak gunakan istilah shaum di sini untuk membedakannya dengan ibadah umat Muslim) untuk mengubah diri dari ulat yang buruk menjadi kupu-kupu yang manis. Malam; waktu-waktu strategis yang digunakan untuk beristirahatnya manusia, bahkan fungsinya ini pun disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Apa dosa kupu-kupu dan malam sehingga mereka dikombinasikan untuk menghasilkan makna “pelacur”?

Keberpihakan manusia pada para pelacur memang luar biasa. Mungkin karena banyak yang percaya pada sebuah anekdot sarkastis yang mengatakan bahwa pelacur adalah profesi yang paling tua di dunia. Entah dari mana mereka mendapatkan data untuk mendukung hipotesis ini. Yang jelas, pembelaan media terhadap pelacur nampaknya memang jauh lebih hebat daripada pembelaannya terhadap para ulama atau MUI. Sebagian aktifis Islam yang menuntut ditegakkannya syariat Islam diberi label ‘preman berjubah’, sedangkan para pelacur nista disanjung sebagai ‘pekerja seks komersial’. Mesti kita beri nama apakah para insan pers yang merekayasa peristilahan dalam bahasa Indonesia ini?

Masyarakat marah pada para pelacur. Anak-anak mereka, suami-suami mereka, dan ayah-ayah mereka jadi tak bermoral gara-gara pelacuran. Yang melacur pun tak lain adalah anak-anak gadis mereka, kakak-adik perempuan mereka, dan barangkali juga istri-istri dan ibu-ibu mereka juga. Pemerintah yang menjunjung tinggi ‘kepentingan semua orang’ (termasuk kehendak para germo dan pelacur juga) kemudian mengajukan solusi: lokalisasi saja semua pelacur itu! Supaya tidak memberi ekses negatif pada masyarakat, para pelacur pun dibikinkan kompleknya sendiri untuk bernista-ria bersama para pelanggannya. Tapi para pelacur lebih pintar daripada pemerintah. Untuk memangkas biaya, lokalisasi tidak hanya jadi tempat bekerja, tapi juga jadi tempat tinggal mereka. Dan karena hukum ekonomi supply and demand, karena lokalisasi ramai dengan pengunjung, maka banyak yang melihatnya sebagai peluang bisnis. Jualan makanan kecil, minuman ringan, atau buka warung, pasti laku. Maka para pedagang pun berdatangan dan secara tidak langsung ikut menikmati bisnis pelacuran ini. Karena pedagang pun ingin memangkas biaya, maka mereka pun tinggal di lokalisasi itu. Para pelacur dan pedagang lebih pintar daripada pemerintah. Alih-alih menjauhkan pelacuran dari komunitas masyarakat, lokalisasi malah menciptakan masyarakatnya sendiri. Siklus beralih kembali, sehingga anak-anak mereka, suami-suami mereka, ayah-ayah mereka kembali jadi pelanggan para pelacur, sedangkan anak-anak perempuan mereka, kakak-adik perempuan mereka, istri-istri mereka dan ibu-ibu mereka pun menjadi pelacur pula. Generasi apa yang bisa kita harapkan lahir dari sebuah komplek yang didominasi oleh para pelacur?

Setelah berhasil menguasai komplek lokalisasi, menyedot perhatian masyarakat yang dulu meminggirkannya, dan mendapatkan pembelaan dari media massa, para pelacur pun sudah berani untuk mendeklarasikan keinginannya untuk mendominasi DPRD. Di Kabupaten Blitar, para pelacur sudah mengancam akan berdemo telanjang kalau Pemkab meneruskan niatnya untuk menutup tiga buah lokalisasi di kabupaten itu (ya, ada tiga!). “Kami ini juga manusia yang butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarga!” kata salah seorang dari mereka. “Pemerintah harus manusiawi!” kata salah seorang aktifis yang membela mereka. “Dari parkir saja, lokalisasi menyumbang dana 1,5 juta rupiah per bulan!” begitu kata koordinator salah satu lokalisasi.

Para pelacur memang luar biasa. Kebobrokan moral bisa mereka tutupi dengan isu-isu kemanusiaan. Segalanya dikonversi dalam satuan rupiah, sehingga nampak seolah-olah mereka adalah semacam ‘pahlawan devisa’ bagi pemerintah. Tapi tak ada yang menghitung berapa banyak keluarga yang hancur berantakan gara-gara pelacuran, berapa banyak anak yang rusak moralnya karena lahir dan besar di lokalisasi, dan berapa orang yang terjangkit HIV/AIDS per tahunnya. Konspirasi yang mereka galang nyaris sempurna. Nyaris, karena nampaknya masih ada DPRD yang tak tersentuh. Jangan heran kalau di pemilu-pemilu mendatang ada caleg yang terang-terangan mengaku dulunya berprofesi sebagai pelacur, atau dengan berapi-api menyatakan akan membela hak-hak para pelacur. Ah, kenapa tidak sekalian saja bikin partai? Partai Pelacur?

Ah, tapi para pelacur tak suka disebut pelacur. Barangkali dalam waktu dekat ini, para penulis Kamus Besar Bahasa Indonesia pun akan dituntut untuk menghilangkan kata pelacur dari kosa kata bangsa Indonesia, selamanya!

Monday, July 27, 2009

The Culture of Isolation

“Lock the world outside your mind” is a great motto. Kurt Cobain locked the world outside his mind. Not many people today succeed in locking the world outside. True isolation is, in the end, self-destruction. The moment you step outside of it, you turn into your own victim.


A great sense of isolation is stored inside Gregor Scheneider’s home. A building that the artist transformed into a maze of isolated, dangerous spaces. He transformed his home into his mind, he transformed his mind into his home. Both are obsessive sites that developed a sort of autistic architecture. Autism is the way isolation is transformed into a fire-wall, a safety curtain of a society ruled by language. More and more people decided to belong to the culture of isolation. Autistic technology.


The iPod is the ultimate instrument of isolation. The more we are able to connect with other people without the need to see them, to talk with them, the more the culture of isolation becomes the dominant state of our civilisation. Today, in a city like New York it is possible to self-imprison ourselves. Food, information, drugs can be delivered in front of our doors, making the contact with outside world useless. We can die without having seen a person for years. We can build architectural burkas where it will be to hide our social and gender identity. Why surrounded by the noises and the blabbering of other people spending half of their lives on cell phones, we mutated into a different kind of human being.


By now, we switch on the isolation button automatically. The more the others share their lives with us, the more their lives become meaningless to us.


Music is the new silence. Words are the new feelings. Loneliness is the new screaming crowd that surrounds us. Like stones, we learn the impossibility to kiss another stone. Like stones, we wait for someone, we wait for someone to throw us againts the glasswalls of our isolation. Like stones, we imagine being islands, faraway in the middle of the ocean.


By. Francesco Bonami. (ON ISOLATION)

Tuesday, July 21, 2009

Sisi lain dunia kedokteran Indonesia.

My note :

Tulisan di bawah ini adalah note salah satu mahasiswi Fak.Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang magang di RSCM.
Mengamati berbagai pemberitaan buruk tentang dunia kedokteran Indonesia memang bisa menurunkan kepercayaan siapa saja pada kemampuan dokter2 Indonesia dan akhirnya memilih untuk berobat ke negara lain. Ironis sekali ya... Citra buruk yang bagaimana lagi yang kira2 harus dipikul oleh negara kita tercinta?
Apa yang ditulis di bawah ini patut disebar-luaskan supaya orang juga bisa mengimbangi judgement mereka (termasuk gue) tentang dunia kedokteran Indonesia.
Semoga apa yang gue post kali ini bisa sedikit merubah pandangan kalian yang membaca.
Enjoy.

Sisi Lain Dunia Kedokteran Indonesia

Di tengah derasnya pemberitaan negatif media tentang dunia kedokteran indonesia, saya ingin mengajak teman" untuk berhenti mengerjakan segala pekerjaan anda, dan meluangkan sedikit waktu untuk membaca tulisan ini. Di bawah ini saya cantumkan sebuah surat yang ditulis oleh seorang ibu dari pasien anak di RSU Tangerang, dimana kami para ko-ass ditempatkan.. waktu itu kejadiannya menyangkut salah satu teman seangkatan saya yang sedang menjalankan kepaniteraan di bagian IPD.

Untuk teman-teman FKUI khususnya angkatan 2004, saya yakin hampir semuanya sudah pernah membaca surat ini.. atau setidaknya mendengar cerita ini dari teman sejawat lainnya. Surat ini sebelumnya sudah pernah dicantumkan di milis FKUI 2004. Surat aslinya setahu saya dikirim langsung via surat tertulis ke alamat FKUI.

Isi lengkap dari surat ini sudah ditulis ulang oleh teman saya agar lebih mudah dibaca.. sedangkan surat aslinya juga ikut saya upload, bila ingin membacanya langsung sendiri..

Ide untuk mempublikasikan secara luas surat ini muncul setelah pagi ini, saya dan teman-teman saya membahas tentang negatifnya pandangan masyarakat tentang dunia kedokteran sekarang, terutama pandangan mengenai RSCM. Teman saya bercerita tentang isi suatu forum salah satu website terkemuka yang membicarakan bagaimana negatifnya dunia kedokteran, khususnya para ko-ass dan residen, serta RSCM.. Sedih rasanya mendengar orang bisa berpandangan seburuk itu...

Saya tidak mengatakan bahwa dokter itu selalu benar dan segala pemberitaan negatif media itu salah.. bukan.. Dokter juga manusia, sangat mungkin berbuat kesalahan.. Tapi di lain sisi, banyak dokter-dokter di luar sana yang setia mengabdi pada masyarakat, bahkan rela kehilangan nyawanya saat bertugas di daerah terpencil.. Kenapa hal-hal tersebut tidak menjadi sorotan media? Kenapa berita-berita tersebut tidak menjadi headline news di berbagai stasiun TV selama berminggu-minggu?? Kenapa??

Yah.. saya berharap setidaknya surat di bawah ini bisa sedikit membuka mata teman-teman bahwa tidak semua yang berhubungan dengan dunia kedokteran Indonesia itu buruk.. Setidaknya ibu yang menulis surat ini tidak berpikir seperti itu...




Kepada Yth.

Bapak/Ibu kepala FKUI

di

RSCM


Dengan Hormat,

Sebelumnya perkenalkan nama saya: Titis

D/A Desa kurabumi RT 03/RW 01

Kec: Pasar kemis

Kabupaten: Tangerang

BANTEN


Saya adalah orang tua dari Rizky yg pada tgl 15 Mei 2009 masuk RSUT karna positip menderita DBD & Tipes yang sudah sangat parah. Bahkan sudah mengalami pendarahan di lambung. Sampai hari ketiga anak saya di rawat masih belum ada perubahan, justru malah semakin parah, perutnya kembung & mengalami pembengkakan, & tingkat kesadarannya sudah sampai lemah/rendah. Dia sudah tidak tau dimana dia berada, dan pada hari itu pula ada seorang Dokter muda yang memberi penjelasan pada saya tentang sudah sangat parahnya anak saya dg segala kemungkinan terburuk yg bisa saja terjadi hingga pada hari itu pula dia menganjurkan agar Rizky ini di pindah ke ruang ICU. Dan pada saat itu pula saya merasa bingung & putus asa karna saya tau pasti biayanya sangat mahal. Saat itu saya tidak bisa ngomong apa-apa saya hanya diam & menangis.

Berulangkali Dokter itu bertanya apa saya sudah mengerti dg semua penjelasannya? di sela kesedihan saya jawab 'saya ngerti dok, bahkan sangat ngerti, yg saya bingung dananya dari mana.....?' Lalu dokter itu bilang 'saya tau bu memang kondisi ekonomi saat ini lagi sangat sulit.' Tapi dengan segala kelembutannya dia mengusap pundak saya dan....ibu yang sabar ya; saya akan berusaha bantu ibu, saya akan bilang pada semua yang tugas disini agar memberikan perawatan pada Rizky seperti di ruang ICU yg mana harus diketahui perkembangannya tiap 1 jam sekali padahal waktu itu anak saya hanya berada di ruang kelas III pav. Kenanga, sebagaimana jatah dari pemerintah saat ini buat keluarga miskin.

Saya sangat bersyukur dg tindakan seperti ini anak saya bisa semakin baik dan sampai hari kemudian sudah di izinkan pulang, dan saya sangat berterimakasih pada semua tim medis yang pada saat itu semua sibuk memberi perawatan pada anak saya dibawah pengawas DR. ILHAM.

Satu hari sebelum pulang saya penasaran, saya ingin tau nama dokter itu..., syukurlah akhirnya saya tau siapa nama dokter itu. Dia adalah Yulyana, dia itu teman saya, kami sama-sama dari FKUI. Saking bahagianya sampai lupa kenapa saya tidak tanya siapa pula nama dokter teman yulyana itu padahal dia juga sama dia sangat baik dan setiap saat memeriksa keadaan Rizky tapi saya tidak pernah lupa ciri teman Yulyana itu dia cantik berambut lurus sebahu memakai jepitan berupa sirkam ke belakang dan memakai kawat gigi.

Saya sangat terharu, kadang tak habis pikir ternyata saat ini masih ada seorang dokter yang sangat cantik & baik hati yang mau duduk berdampingan dg saya di lantai depan pav. Kenanga kelas III hanya untuk mendengarkan keluhan saya, yg hanya seorang wanita yg tidak bisa melahirkan, tapi punya dua anak angkat yg saat ini sudah duduk di bangku SMA. yg bukan orang kaya yg hanya punya tekad & berusaha keras, utk bisa menyekolahkan mereka.

DR. Yulyana saya tidak akan pernah lupa dg anda. Anda adalah seorang wanita muda yg cantik, putih dan bicara anda agak sedikit cadel dan dikuncir rambutnya ke belakang. Tapi maaf ya sepertinya anda orang cina. Tapi siapapun anda, saya sangat kagum.

Semoga harapan saya semua Dokter yg ada di Indonesia bisa seperti anda mau menolong orang tanpa melihat dari kalangan mana orang itu berasal dan semoga dg cerita saya lewat surat ini saya mohon dg segala hormat kepada pemimpin tertinggi di FKUI RSCM agar memberikan nilai terbaik/atau penghargaan kepada kedua dokter ini yg pada saat itu ditugaskan di RSUT Tangerang Banten, agar semua dokter atau calon dokter bisa mencontohnya.

Sayang... saya bukan orang yg ahli main internet, andai saya ahli di bidang itu saya akan kabarkan pd dunia kalau saya telah bertemu dg mahasiswa F.K.U.I yg baik dan berhati mulya menurut saya semua ini sangatlah pantas utk dipublikasikan karna mereka adalah benar-benar putri Indonesia yg sesungguhnya.


Hormat saya,

TTD
Surat asli-1
Surat asli-2
Surat asli-3